Minggu, 19 Februari 2012

M A R A H & D I A M

    Sebagian orang mengatakan bahwa obatnya marah adalah,diam. Bahkan sebagaian pula yang mencoba terhadap diri mereka sendiri. Ada yang berhasil namun tak sedikit pula yang gagal.Atau kadang juga kita menjumpai sebagian orang yang meluapkan amarahnya secara terbuka  berharap hilang setelahnya. Tapi, sadarkah bahwa kondisi marah yang paling tinggi justru ketika seseorang itu diam. How can? karena saat kita diam di tengah amarah yang memuncak,saat itulah kita tengah memberi penghukuman terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sehingga rasa sakit akan terasa semakin menyakitkan. Penghukuman macam apa? bagi mereka yang berjiwa plegmatis dan melankolis, akan memberi penghukuman terhadap diri mereka sendiri akibat pengendalian amarah yang dirasa cukup buruk. Sedangkan bagi sosok koleris, penghukuman yang diberikan lebih condong kepada orang lain. Atau analoginya seperti yang sering kita dengar, air yang terlihat tenang,justru memiliki arus bawah yang besar dengan potensi menghanyutkan yang besar pula dibanding air yang memiliki riak besar di permukaannya.

    Termasuk saya. Jujur saya katakan, bahwa pada dasarnya saya seorang dengan temperamen tinggi. Tanpa sungkan, saya memperkenalkan diri saya sebagai sosok koleris, secara langsung ataupun tidak. Layaknya sosok koleris, saya termasuk orang yang kurang suka diabaikan dalam keadaan apapun. Jika saya berada pada sebuah kondisi dimana ternyata saya diabaikan, maka saya tidak akan pernah memberikan pilihan namun saya yang justru membuat pilihan : "i'm the one who say NO and bid farewell". Look like so selfish and arrogant ,rite?. Tapi begitulah cara saya untuk bisa bertahan.Menangis tanpa harus terlihat meratapi, marah tanpa harus menunjukkan emosi membara. Selain itu, faktor lingkungan kerja saya saat ini, menuntut saya agar bersikap lebih fleksibel. Jika dulu sewaktu masih berstatus mahasiswa, idealisme saya selalu keluar melalui teriakan-teriakan lantang saya di jalan ataupun di hadapan civitas akademik.Saya menyadari itu, dan berusaha untuk mengalihkan sifat-sifat dominan saya agar bisa dipahami orang lain,khususnya di lingkungan kerja saya. Mengapa dialihkan, karena saya tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya, seperti inilah cara saya mengendalikannya.Intinya, diam adalah tingkatan marah yang paling tinggi. Sebab, sampai saat ini belum ada manusia satu pun yang berhasil menemukan alat ataupun metode untuk mengetahui kedalaman rasa dari hati seorang manusia.Dan saya memilih diam ketika marah, hingga kekuatan saya terkumpul untuk menggulingkan keadaan seperti apa yang saya inginkan. Bukan berarti idealisme saya luntur pun bukan pula atas landasan dendam, hanya ingin menikmati marah dengan cara saya sendiri agar tidak ada yang mampu menghitung seberapa kuat saya membalik keadaan. I'm coleric,just the way i'm..=)

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar