Minggu, 19 Februari 2012

...

 
Memahamimu,seperti membaca sebuah buku. 
Harus membalik setiap halaman, hingga jariku tiba di halaman akhir.
Lalu kusimpulkan, itulah Kamu..



Memahamimu,seperti menaiki sebuah kapal. 

Harus terombang-ambing bersama ombak hingga tiba di dermaga.
Lalu kusadari,itulah Kamu..



Memahamimu, seperti mendekap angin. 

Harus memejamkan mata, hingga hembusannya mampu menyentuh pori-pori terdalam.
Lalu kurasakan, itulah Kamu..


Kamu dan Kepahamanku, 

seperti dua sisi mata uang berlawanan yang saling melengkapi,
seperti mawar dan duri yang saling menghiasi. 
Pun seperti deretan angka bebeda yang saling menggenapi.


Hingga,
Dapat kusimpulkan bahwa kamu adalah kamu
Dapat Kusadari bahwa kamu adalah kamu
Dapat Kurasakan bahwa kamu adalah kamu


Dan,
Kepahamanku adalah milikku
Kepahamanku adalah lajurku
Kepahamanku adalah tabirku..


Karena kita bicara tentang dua hal, sayang. Tentang Kamu dan Kepahamanku... 


*puisi lama yang masih sesuai hati hari ini.. =)

M A R A H & D I A M

    Sebagian orang mengatakan bahwa obatnya marah adalah,diam. Bahkan sebagaian pula yang mencoba terhadap diri mereka sendiri. Ada yang berhasil namun tak sedikit pula yang gagal.Atau kadang juga kita menjumpai sebagian orang yang meluapkan amarahnya secara terbuka  berharap hilang setelahnya. Tapi, sadarkah bahwa kondisi marah yang paling tinggi justru ketika seseorang itu diam. How can? karena saat kita diam di tengah amarah yang memuncak,saat itulah kita tengah memberi penghukuman terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sehingga rasa sakit akan terasa semakin menyakitkan. Penghukuman macam apa? bagi mereka yang berjiwa plegmatis dan melankolis, akan memberi penghukuman terhadap diri mereka sendiri akibat pengendalian amarah yang dirasa cukup buruk. Sedangkan bagi sosok koleris, penghukuman yang diberikan lebih condong kepada orang lain. Atau analoginya seperti yang sering kita dengar, air yang terlihat tenang,justru memiliki arus bawah yang besar dengan potensi menghanyutkan yang besar pula dibanding air yang memiliki riak besar di permukaannya.

    Termasuk saya. Jujur saya katakan, bahwa pada dasarnya saya seorang dengan temperamen tinggi. Tanpa sungkan, saya memperkenalkan diri saya sebagai sosok koleris, secara langsung ataupun tidak. Layaknya sosok koleris, saya termasuk orang yang kurang suka diabaikan dalam keadaan apapun. Jika saya berada pada sebuah kondisi dimana ternyata saya diabaikan, maka saya tidak akan pernah memberikan pilihan namun saya yang justru membuat pilihan : "i'm the one who say NO and bid farewell". Look like so selfish and arrogant ,rite?. Tapi begitulah cara saya untuk bisa bertahan.Menangis tanpa harus terlihat meratapi, marah tanpa harus menunjukkan emosi membara. Selain itu, faktor lingkungan kerja saya saat ini, menuntut saya agar bersikap lebih fleksibel. Jika dulu sewaktu masih berstatus mahasiswa, idealisme saya selalu keluar melalui teriakan-teriakan lantang saya di jalan ataupun di hadapan civitas akademik.Saya menyadari itu, dan berusaha untuk mengalihkan sifat-sifat dominan saya agar bisa dipahami orang lain,khususnya di lingkungan kerja saya. Mengapa dialihkan, karena saya tidak memiliki kemampuan untuk merubahnya, seperti inilah cara saya mengendalikannya.Intinya, diam adalah tingkatan marah yang paling tinggi. Sebab, sampai saat ini belum ada manusia satu pun yang berhasil menemukan alat ataupun metode untuk mengetahui kedalaman rasa dari hati seorang manusia.Dan saya memilih diam ketika marah, hingga kekuatan saya terkumpul untuk menggulingkan keadaan seperti apa yang saya inginkan. Bukan berarti idealisme saya luntur pun bukan pula atas landasan dendam, hanya ingin menikmati marah dengan cara saya sendiri agar tidak ada yang mampu menghitung seberapa kuat saya membalik keadaan. I'm coleric,just the way i'm..=)

   

Rabu, 01 Februari 2012

Tentang Maaf dan Melupakan

Menghitung putaran pedati waktu
Dari ujung-ujung jari menggambar kata
Menulis, mengeja,dan terbata - bata
Dilain waktu bersama rasa berbeda
Ada hati yang mengeras membatu
Bersama kabut menutup pandang mata
Ah, sedang jenuh nampaknya

Mari menutup mata,biarkan gelap satu-satu
Menciumi angin yang jujur membawa berita...

Aku yang tersadar dari sadar sebenarnya
Sempat kau cemas akan teriakanku
Lalu kau batasi perlahan langkahku
Agar teriakanku tak diikuti, begitu maksudmu
Semua ku kubur dalam masa pada akhirnya
Pada bayang hitam kutitipkan benci,amarah,egoku
Tentangmu, ya tentangmu yang merasa memimpinku
Dia, kita, mereka, yang luka atas alpamu
Serentak mengalungkan maaf bagimu serta masa lalu


Lalu bagiku? Aku menyerahkan maafku sebesar yang kau minta
Tapi tidak untuk melupakan ataupun menghapus semuanya
Ini bukan tentang ikhlas yang sedang dipelajari umat
Yang ketika Rasul sekalipun ditanya, itu rahasia Alloh ujarnya
Layaknya  kematian dan  rezeki yang ikut dirahasiakan
Maka, aku memilih memunggungi demi ketenangan
Agar kelak aku tak mewarisi cacat tersembunyi kepemimpinanmu
Kau termaafkan tapi tidak terlupakan


Aku dan Sang Senior yang beradu luka di masa lalu...