Rabu, 08 Mei 2013

Bicara dan Stasiun Kereta


   Ada yang tak bisa keluar dari mulut kita berdua. Aku mendiamkan sejak dulu. Ya, sejak kuputuskan untuk meninggalkan separuh hati di stasiun kereta senja itu. Aku fikir, itulah satu-satunya alasan yang membawaku kembali kesana. Menemuinya sebagai tempatku pulang. Waktu yang telah kupintal dengan sabar, nyatanya tak pernah punya arti apa-apa. Aku memintalnya sendiri dan benar - benar sendiri. Seperti bicara pada air yang mengalir ataupun menitip pesan pada angin yang terus berhembus. Bagi orang lain adalah hal bodoh tapi bagiku adalah pilihan. Ya, aku memilih untuk percaya pada ketidakmungkinan. Percaya bahwa air akan mendengarkan keluhku pun percaya pada angin yang akan menyampaikan pesanku. Padahal aku tau dengan sangat sadar bahwa angin dan air sama-sama tak bisa dipercaya, mereka bebas dan tak suka terikat.

   Aku mendiamkanmu yang mendiamkanku. Kita tak banyak bicara kini. Masihkah ada ingatan tentangku yang tersisa di dalam otakmu? Seperti ingatan tentangmu ya masih kusimpan rapi di dalam otakku dan kusisipkan setengahnya di rak-rak hatiku. Ah...kini aku yang tampak begitu melankolis. Padahal kau ta sangat, bahwa aku tak pernah bicara banyak hal jika itu berhubungan dengan perasaan. Kecuali tentangmu, semua menjadi begitu absurb hingga harus dibicarakan dengan sangat jelas. Mungkinkah Deru suara kereta hingga riuh manusia yang berlalu - lalang membuat suara kita menjadi tak begitu terdengar satu sama lain? Atau justru suara kita hilang bersama keretaku yang pergi menjauhimu. Hingga kita mendewakan hati dengan merasakan perasaan masing-masing dan lupa bagaimana cara bicara tanpa isyarat. Just give me a second to take breath easy and hear your voice calling me out...dan aku masih menunggumu bicara di stasiun kereta seperti senja silam yang masih kuingat dengan mudah.


-My Mr. Stonehead-

2 komentar: